• Media Center
  • Dugaan Suap Perusahan Farmasi-Dokter, Pengamat Sebut KPK Terlalu Naif

Dugaan Suap Perusahan Farmasi-Dokter, Pengamat Sebut KPK Terlalu Naif

Blog Single
Edi Suwiknyo -- bisnis.com -- Jumat, 05/02/2016
 
Jakarta - Praktisi hukum dari UIN Syarif Hidayatullah Andi Syafrani menilai KPK terlalu naif ketika membiarkan praktik kerja sama saling menguntungkan antara perusahaan farmasi dan institusi kedokteran.
Terlebih alasan tersebut dibiarkan untuk meringankan beban para dokter mengikuti seminar. Dia justru menganggap langkah KPK dan Kementerian Kesehatan merendahkan profesi seorang dokter.

"Kalau alasannya untuk membiayai seminar saya kira sangat naif. Sangat tidak substansial alasan tersebut," ujar dia kepada Bisnis, Kamis (4/2/2016).

Dia mengatakan seorang dokter merupakan profesi yang baik dan dari segi pendapatan juga memiliki nilai lebih. Karena dengan memperbolehkan praktik tersebut, seolah-olah dokter kekurangan dana untuk mengikuti sebuah seminar.

Padahal, dari perspektif yang lebih luas, praktik pemberian sponsorship tersebut juga berimplikasi pada kebutuhan kesehatan masyarakat. Efeknya bisa sangat berantai.

Dia menyakini, seorang dokter yang dekat dengan produsen dengan perusahaan farmasi akan cenderung tidak independen. Dengan kata lain dapat dikendalikan oleh kepentingan perusahaan farmasi.

Sebagai contoh, praktik kongkalikong antara perusahaan farmasi dan dokter ini bisa memengaruhi harga obat yang diberikan kepada pasien. Harga bisa lebih mahal, bahkan pasien bisa saja memperoleh obat yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkannya.

"Itu salah satu efek lainnya, kesehatan sangat dekat dengan masyarakat, jangan sampai kemanusiaan dikalahkan oleh bisnis," ujar dia lagi.

Andi juga meminta kepasa KPK untuk segera bertindak. Terutama jika menemukan praktik tersebut di dalam rumah sakit pemerintah. Menurut dia, rumah sakir pemerintah yang notabene dibiayai oleh APBN dan APBD patut diawasi oleh KPK.

"Karena rumah sakit publik, tentu KPK harus segera turun tangan agar hal itu tidak menimbulkan efek berantai di kemudian hari," jelas dia.

Dia menambahkan kalaupun KPK ingin meminimalisir praktik gratifikasi tersebut, seharusnya yang dibenahi adalah regulasi skoringnya atau dalam tataran tertentu regulasi praktik kedokteran. Bukan mengalihkan sponsorship dari individu dan institusi.

"Kalau caranya masih seperti itu, praktik gratifikasi tersebut akan terus terjadi dan bisa mengarah kepada tindakan pidana. Bagi pemberantasan korupsi hal itu tentu tidak bisa dijadikan patokan," katanya lagi.

Sementara itu, Fadli Nasution ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia menyampaikan, salah satu fungsi KPK adalah pencegahan tindak pidana korupsi.

Adanya indikasi atau modus berupa pemberian hadiah, bonus atau sejumlah fasilitas kepada dokter dari perusahaan farmasi, agar menggunakan obat-obatannya merupakan bentuk gratifikasi terselubung yang perlu dicegah oleh KPK.

Dengan begitu agar tidak terjadi monopoli atau dominasi terhadap produk perusahaan farmasi tertentu. Jenis dan merek obat yang digunakan para dokter harus diserahkan pada mekanisme pasar yang bersaing secara sehat sesuai dengan kualitas dan kebutuhan pasien.

Sebelumnya, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Kencana menganggap, praktik kerjasama saling menguntungkan berupa pemberian dana seminar yang disalurkan melalui rumah sakit dan organisasi profesi bukanlah sesuatu yang dilarang.

Pahala mengkalim, mekanisme seperti itu tidak akan menimbulkan konflik kepentingan antara dokter dengan institusi rumah sakit atau organisasi profesinya.

Namun demikian, kesehatan KPK dan Kemenkes tersebut justru bertentangan dengan Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Kedeputian Pencegahan KPK pada tahun 2012 tidak ada sedikitpun penjelasan yang membedakan gratifikasi yang diberikan kepada perorangan dengan institusi

Related Post