• Media Center
  • Profit Margin Obat hingga 800%, Gratifikasi ke Dokter Marak

Profit Margin Obat hingga 800%, Gratifikasi ke Dokter Marak

Blog Single
Harso Kurniawan/Ester Nuky/Heru Andriyanto/EN -- beritasatu.com -- Jumat, 05/02/2016
 
Jakarta – Praktik pemberian gratifikasi atau komisi dari perusahaan farmasi kepada dokter, hingga sekitar 35% dari harga obat yang diresepkan, makin marak. Iming-iming pemberian fasilitas mewah banyak ditawarkan oleh perusahaan obat yang semakin gencar mencari keuntungan, bahkan profit margin bisa mencapai 800%. Hal itu berdampak menurunkan kualitas layanan kesehatan kepada masyarakat dan biaya berobat menjadi sangat mahal. Perilaku koruptif tersebut harus diberantas agar layanan kesehatan bagi masyarakat lebih berkualitas dan bebas dari korupsi.
Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dr Marius Widjajarta menjelaskan, gratifikasi di kalangan dokter merupakan praktik yang sudah berlangsung sejak 1972 dan belakangan ini makin marak. Hal tersebut disampaikannya dalam perbincangan di studio Berita Satu News Channel, Jakarta, Kamis (4/2).

"Gratifikasi ini makin marak terutama karena kehadiran industri obat generik bermerek. Praktik ini terus berulang-ulang, karena pemerintah tidak serius. Kesepakatan-kesepakatan (untuk pemberantasan) cuma 'nostalgia'," ujarnya mengomentari pertemuan antara pemerintah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), produsen obat, dan asosiasi dokter belum lama ini yang menyepakati dihentikannya praktik gratifikasi tersebut.

Marius mengatakan, kesepakatan serupa pernah dibuat pada 2007, namun tidak ada hasilnya. Saat itu belum ada KPK yang bertugas menangani pengusutan kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara, aparat penegak hukum, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat tersebut.

"Menurut saya, pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan, hanya melihat hilirnya saja. Hulunya tak pernah diikuti," kata Marius.

Ia menjelaskan, kelompok obat yang paling rentan menyuburkan praktik gratifikasi adalah obat generik bermerek. Kualitas obat ini sebetulnya sama dengan obat generik biasa, yang diproduksi sesuai cara produksi obat yang baik (CPOB) dan sudah sesuai standar Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Kalau obat generik harganya dipatok pemerintah dengan porsi keuntungan 40 persen untuk produsen dan distributor sekaligus, maka obat generik bermerek tidak punya patokan harga. "Karena harganya tidak dikunci, jadi harga bebas saja. Padahal, kalau pemerintah membeli obat generik bermerek, ada ketentuan maksimal (profit margin) tiga kali. Kalau masyarakat yang beli, mengapa ada yang sampai 10 kali, ada yang 20 kali. Kalau misalnya obat generik saja (profit margin) sudah 40 persen, kalau yang 20 kali kan 800 persen," katanya.

Tidak Hanya Uang

Demi keuntungan yang besar inilah, produsen obat gencar mendatangi dokter dan tak segan memberi penawaran menggiurkan. "Produsen yang nawarin, 'Dokter perlu apa? Seminar, ya, keluarga piknik, ya, cicilan rumah, ya, cicilan mobil, ya'. Nah, solusi untuk mengakhiri gratifikasi di kalangan dokter adalah mengunci harga obat generik bermerek. Harga obat generik bermerek harusnya maksimal (profit margin) tiga kali, selesai,'" kata Marius.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, maraknya pemberian gratifikasi dari perusahaan farmasi kepada dokter itu yang antara lain membuat harga obat di Indonesia mahal. Oleh karena itu, pihaknya menyambut baik upaya untuk membongkar dan memberantas praktik gratifikasi di kalangan dokter.

"Bentuk gratifikasi dokter dari perusahaan farmasi bermacam-macam, tidak sebatas uang. Perusahaan farmasi kerap memberikan dana seminar atau perjalanan dinas,” ujar dia kepada Investor Daily di Jakarta, Kamis (4/2).

Untuk kalangan dokter PNS, lanjut dia, KPK sudah berniat membongkar praktik gratifikasi tersebut agar tidak berlanjut. Pemberantasan praktik ini juga harus dilakukan di kalangan dokter swasta.

"Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) seharusnya bisa mencabut surat tanda registrasi (STR) dokter swasta yang menerima gratifikasi dari perusahaan farmasi. Hal ini akan menimbulkan efek jera di kalangan dokter sekaligus menghilangkan praktik gratifikasi," ujar Tulus Abadi.

Ia menjelaskan, penerimaan gratifikasi saat ini memang sudah dilarang dalam kode etik kedokteran di Indonesia, namun belum ada sanksi tegas. Oleh karena itu, perlu ada sanksi tegas seperti pencabutan STR dokter penerima gratifikasi.

Jadi Tidak Objektif

Secara terpisah, Ketua KPK Agus Rahardjo dalam pernyataan tertulisnya menyatakan, banyak dokter yang memberikan resep obat karena kongkalikong dengan perusahaan farmasi, sehingga tidak lagi objektif. "Mereka menyodorkan obat yang kurang tepat kepada si pasien. Kadang-kadang dokter memberikan resep semaunya dan memberikan obat atas rekomendasi perusahaan farmasi,” katanya.

Terkait tugas KPK untuk menangani kasus korupsi di kalangan penyelenggara negara, lanjut dia, pemberian sponsorship kepada dokter akan menjadi masalah apabila dokter tersebut berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sementara itu, di negara-negara maju, praktik pemberian komisi atau gratifikasi itu sudah dilarang. Bahkan, RRT pernah menggugat perusahaan farmasi.

KPK menilai, praktik gratifikasi yang membayangi dunia kesehatan - termasuk para dokter - menurunkan kualitas layanan kesehatan kepada masyarakat yang membutuhkan. "Iming-iming fasilitas mewah yang banyak ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan obat, yang kini semakin gencar mencari keuntungan, berdampak mengikis layanan kesehatan kepada masyarakat. Karena kesehatan merupakan salah satu sektor strategis, KPK tidak tinggal diam. Perilaku koruptif tersebut harus diberantas, demi mewujudkan layanan kesehatan yang bebas dari korupsi dan berkualitas bagi hajat hidup orang banyak," paparnya.
Di sisi lain, penerimaan gratifikasi yang melanggar aturan tersebut tentunya tidak akan dilaporkan oleh dokter sebagai penghasilan yang kena pajak. Hal ini merugikan penerimaan pajak negara.

Obat Jadi Mahal 

Marius menjelaskan, ada tiga jenis obat-obatan. Pertama adalah obat generik yang di Indonesia sekitar 15 persen pangsa pasarnya, yang dijual dengan nama sama antara jenis obatnya dengan mereknya.

Kedua, adalah obat generik bermerek, dengan pangsa pasar sekitar 75 persen. Menurut Marius, isinya sebetulnya obat generik biasa, tapi mereknya lain sesuai selera pembuatnya. Jadi, yang dipatenkan sebetulnya namanya saja, karena isinya bukan temuan orisinil si pabrik obat.

"Ketiga adalah obat paten, yang benar-benar paten. Harga obat jenis ini bisa ditentukan oleh si penemu dan tidak bisa diintervensi sampai 20 tahun," kata Marius.

Menurut Tulus, ada tiga faktor yang membuat harga obat di Indonesia mahal. Pertama, industri farmasi nasional sangat tergantung pada bahan baku impor. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemperin), sebanyak 90 persen bahan baku farmasi masih diimpor, terutama dari Tiongkok dan India. Imbasnya, harga obat berpotensi naik tinggi begitu rupiah 'terkapar' terhadap dolar AS.

"Kedua, biaya promosi yang tinggi. Terakhir, perusahaan farmasi harus mengeluarkan biaya untuk entertainment dokter. YLKI meminta pemerintah mengatasi tiga masalah itu," tandasnya.

Dia mengatakan, penerapan sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang dijalankan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bisa membantu memutus mata rantai gratifikasi. Sebab, dokter tidak bisa lagi sembarangan memberikan resep kepada pasien, lantaran BPJS memiliki standar tarif kesehatan atau INA CBG. “Akan tetapi, belum semua rakyat Indonesia mengikuti BPJS,” ucap Tulus. 

BeritaSatu TV,Investor Daily

Related Post