Jakarta - Rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) awal Agustus lalu, yang menyebut BPJS Kesehatan belum memenuhi prinsip syariah Islam, menuai kontroversi. Salah satu poin yang menjadi sumber fatwa tak syariah adalah penerapan denda dua persen terhadap mereka yang terlambat membayar iuran. Juga soal penempatan dana BPJS di bank konvensional yang menerapkan sistem bunga.
Untuk menjernihkan persoalan dan meredakan kontroversi, BPJS Kesehatan dan MUI bersama Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan menggelar pertemuan pada 4 Agustus 2015 lalu. Dalam pertemuan itu antara lain terungkap bahwa denda dua persen bukan dikenakan kepada perorangan dan uang denda digunakan untuk pelayanan, menambah pelayanan kesehatan. Begitupun pengelolaan dana BPJS di bank konvensional sama sekali tak bersifat komersial sehingga tak menghasilkan bunga. "Uang itu memang disimpan di bank, tapi bukan untuk deposito atau investasi, melainkan untuk mekanisme pembayaran," kata Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Chazali Situmorang kepada majalah detik di ruang kerjanya, Jumat, 7 Agustus 2015 lalu. Ia juga menegaskan BPJS Kesehatan selama ini sudah memenuhi prinsip syariah sehingga tak perlu dibuat lembaga baru. Kalaupun bank syariah yang juga milik negara akan disertakan dalam mengelola dana BPJS, hal itu sangat dimungkinkan. Berikut ini penjelasan lebih lanjut dari ahli farmasi dan mantan aktivis HMI ini. Benarkah BPJS Kesehatan akan membuka skema baru BPJS Syariah? Tidak banyak media yang memuat secara utuh tiga kesepakatan dalam pertemuan antara BPJS Kesehatan, MUI, DJSN, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan. Tiga poin itu, para pihak sepaham untuk melakukan pembahasan lebih dalam terkait dengan keputusan dan rekomendasi ijmak ulama, dengan membentuk tim bersama. Kami juga bersepaham, ditegaskan dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan itu, memang tidak ada kosakata haram. Ketiga, masyarakat diminta terus mendaftar dan tetap melanjutkan kepesertaannya yang diselenggarakan BPJS Kesehatan, selanjutnya perlu ada penyempurnaan dalam program. Penyempurnaan tehadap program jaminan kesehatan yang sesuai dengan nilai syariah untuk memfasilitasi masyarakat yang memilih program dengan nilai syariah. Di sini bukan membuat lembaga baru. Kami akan cari program yang tidak sesuai dengan nilai syariah, akan dibahas bagaimana caranya agar sesuai, sepanjang tidak melanggar aturan di atasnya. Ini kan produk negara. Kami juga tidak mengabaikan nilai syariah untuk memberikan ketenangan bagi kelompok masyarakat itu sebagai suatu prinsip yang harus diikuti. Jadi intinya penyempurnaan program?
Kata kuncinya penyempurnaan program, bukan diganti. Kalau ada produk yang masih ghoror, maisir, atau riba, yang mana? Kami bahas bersama. Di mana letak ghoror atau ribanya? Kalau terang benderang ada riba, kita perbaiki. Kalau ternyata salah pengertian karena informasinya tidak utuh atau pemahaman tidak utuh tentang program sehingga menyimpulkan riba, tentu istilah ribanya dianulir. Tapi Dirut BPJS Kesehatan sempat mengatakan ada dua skema konvensional dan syariah yang nantinya bisa dipilih.... Oh, tidak, semua terintegrasi. Contoh ilustrasinya dalam hal collecting premi, selama ini kan hanya di bank BUMN, apa salahnya kalau bank syariah ikut berpartisipasi membuka loket-loket bagi mereka yang menjadi peserta. Bedanya di mana, nanti dibuat formulir bank syariah, memang beda, di situ ada akadnya secara individu bahwa akan jadi peserta dan uang iuran akan dihibahkan kepada BPJS untuk dikelola dalam rangka pelayanan kesehatan. Jadi keragu-raguannya bisa hilang. Kalau orang Islam juga tapi keyakinan dia itu tidak penting, mau ke bank konvensional tidak pakai akad juga bisa. Programnya kan enggak berubah. Contoh lain, BPJS Kesehatan kan ngumpulin uang, uangnya disimpan di mana? Kalau di bank konvensional kan ada bunganya, itu bisa riba. Kami jelaskan, BPJS Kesehatan itu tidak bisa melakukan investasi, mengapa? Karena uangnya habis untuk pelayanan. Bahkan, dalam undang-undang mengatakan, dalam waktu 15 hari saat rumah sakit mengklaim, harus dibayarkan. Jadi uang itu terus berputar. Bahkan untuk saat ini uang yang ada tidak cukup membayar klaim. Uang itu memang disimpan di bank, tapi bukan untuk deposito atau investasi, melainkan untuk mekanisme pembayaran. Jadi peluang untuk membentuk BPJS Syariah? Kalau dibuat lembaga baru lagi, satu BPJS Kesehatan satunya lagi BPJS Syariah, itu tidak mungkin. Saya tegaskan sebagai Ketua DJSN, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional itu memerintahkan universal coverage. Itu untuk seluruh penduduk, bukan sebagian penduduk. Kalau untuk sebagian penduduk, ya sebagian yang lain bisa saja pakai sistem yang lain. Ini perintahnya seluruh penduduk wajib ikut jaminan kesehatan nasional. Berbeda dengan perbankan. Perbankan itu, kamu punya uang, ada tidak UU yang mewajibkan kamu taruh uang di bank? Lalu bedanya lagi, BPJS itu bukan industri keuangan. BPJS tidak memperdagangkan uang. Lain dengan perbankan. BPJS mengumpulkan uang yang namanya dana amanah dari peserta yang dititipkan kepada BPJS untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan nasional. BPJS juga prinsipnya nirlaba. Bukan berorientasi profit. Sumber dana yang bukan dari iuran peserta, pembukuannya dipisahkan. Jadi ini sebenarnya sudah konsep syariah. Tidak mencampuradukkan dana milik peserta dengan dana aset yang dikelola. DJSN pernah diundang MUI untuk memberikan informasi soal tersebut? Saya sudah ngomong juga waktu rapat di OJK. Mereka, waktu merumuskan, DJSN tidak pernah dipanggil, tidak pernah diajak bicara. Saya bilang, kalau dulu MUI meminta masukan dari DJSN, mungkin tidak seperti ini bunyi rekomendasinya. Setelah pertemuan di OJK, kapan pertemuan lanjutan? Kami sepakat membuat daftar inventarisasi masalah (DIM). Apa sih masalah yang dilihat MUI dari program jaminan kesehatan nasional, apa masalah yang menimbulkan ghoror, maisir, dan riba? Itu sudah disepakati. Itu dari persepsi MUI, apa yang menjadi masalah. Senin depan, DIM itu dikirimkan ke BPJS Kesehatan. Ini biar enak, agar kita tidak meraba-raba apa yang ghoror, maisir, atau riba itu. DIM itu nantinya dibahas di lingkungan pemerintah dari segi policy sampai implementasi. Hasilnya kita kasihkan MUI untuk dipelajari. Sekitar tanggal 20 Agustus akan ada diskusi untuk menyamakan pemahaman. Soal denda dua persen bagi yang telat bayar iuran dan itu dikategorikan riba, bagaimana penjelasan Anda? Denda itu bagi perusahaan yang sudah memungut dana dari pekerja tapi telat membayarkan ke BPJS. Pertanyaannya, uang denda yang dua persen itu ke mana? Dari catatan pembukuan, ternyata itu bukan untuk kepentingan lembaga atau untuk honor karyawan BPJS, uang itu kembali pada pelayanan, menambah pelayanan kesehatan. Riba itu kan intinya uang diambil secara tidak wajar untuk diri kita di atas penderitaan orang lain. Kemudian, kenapa muncul istilah riba? Misalnya perusahaan atau orang yang dikenakan denda itu ternyata bukan karena lalai tapi karena tidak mampu akibat musibah? Itu yang dikhawatirkan MUI. Sebenarnya itu sudah diatur undang-undang, kalau dia jatuh miskin, dia tidak wajib membayar iuran atau denda. BPJS Kesehatan masih menanggung lebih besarnya biaya pelayanan kesehatan yang dibayarkan daripada iuran yang diterima. Ada rencana menaikkan iuran? Menurut undang-undang, DJSN mempunyai fungsi mengajukan anggaran penerima bantuan iuran (PBI) kepada pemerintah. Kami membuat kajian dan penelitian sampai pada angka per orang per bulan Rp36 ribu untuk orang miskin dan tidak mampu yang iurannya dibayar dari APBN. Ini rencananya untuk APBN 2016. Sebetulnya pemerintah membuat hitungan sendiri naik menjadi Rp23 ribu, sekarang kan Rp19.225 dengan peningkatan target sasaran dari 86,4 juta menjadi 92,4 juta. Keluar total Rp25,5 triliun. Ini diletakkan pada pos APBN sektor kesehatan yang dialokasikan 5 persen dari APBN. Bila angka Rp36 ribu disetujui pemerintah, untuk tahun 2016-2017 tidak perlu lagi mengalokasikan dana talangan karena klaim rasio bisa ditekan sekitar 90 persen. Begitu juga dengan overklaim rasio 2015 bisa ditutupi. Peningkatannya hampir dua kali lipat? Sebetulnya angka awal Rp19.225 itu tidak sesuai dengan nilai keekonomian. DJSN dulu menghitung dan mengajukan angka Rp27 ribu. Tapi, dengan alasan fiskal, pemerintah beralasan tidak memiliki uang yang cukup. Waktu itu kita sudah bayangkan kondisi bleeding yang saat ini terjadi. Seandainya dulu angka Rp27 ribu yang dipakai, hitung-hitungan saya, pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana talangan sampai Rp5 triliun. Menaikkan iuran satu-satunya solusi? Itu salah satu komponen. Ada efisiensi manajemen dan klaim. Kementerian Kesehatan sudah mengevaluasi paket-paket INA-CBGs apakah ada unsur inefisiensinya. Kapasitas juga dilihat apakah seharusnya bisa dilayani di puskesmas lalu dioper ke rumah sakit. Kalau bisa ditangani di puskesmas, kan bisa lebih murah.
***
Tulisan selengkapnya bisa dibaca gratis di edisi terbaru Majalah Detik (Edisi 193, 10 Agustus 2015). |