Jakarta - Penggunaan metode INA-CBGs (Indonesian Case Based Groups) untuk menentukan tarif berobat di rumah sakit sudah ditentukan sejak tahun 2007. Namun dalam perjalanan, masih ada ditemukan kasus penyakit yang tidak sesuai klasifikasinya dalam metode tersebut.
Dr Atik Nurwahyuni, SKM, MKes, dari Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, mengatakan bahwa perlu ada pengembangan soal tarif INA-CBGs. Hal tersebut disampaikan dalam sidang promosi doktornya, seperti ditulis Minggu (26/7/2015).
"Selama ini ribut-ribut soal tarif INA-CBGs kan sering terdengar, terutama setelah ada BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Nah untuk menyelesaikan ribut-ribut itu harus dilihat dari awalnya, yakni soal klasifikasi kasus dan penyakit apakah sudah tepat atau belum," tutur Dr Atik.
Sejak diberlakukan pada tahun 2007, klasifikasi INA-CBGs belum pernah dievaluasi. Padahal menurut Dr Atik, masih ada kkasus yang belum sesuai klasifikasinya. Salah satunya adalah klasifikasi kasus di Case-mix Main Group (CMG) di bidang Obstetri dan Ginekologi.
Penelitian yang dilakukan Dr Atik terhadap kasus CMG O pada 8 rumah sakit pemerintah dan swasta menemukan bahwa beberapa kasus penyakit tidak dikelompokkan sesuai klasifikasi. Bersama 3 orang dokter spesialis obstetri dan ginekologi serta perwakilan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) sebagai narasumber, Dr Atik melakukan penelitian untuk melihat apakah klasifikasi sudah sesuai dan tepat.
Contohnya kasus Retained Placenta yang dialami oleh ibu melahirkan. Retained Placenta merupakan kasus tertinggal placenta dalam perut ketika bayi lahir. Kasus ini dapat memicu kematian akibat perdarahan hebat yang dialami oleh ibu. Dalam metode INA-CBGs, Retained Placenta dimasukkan kedalam kelompok gangguan antepartum atau gangguan yang terjadi sebelum melahirkan.
Padahal seharusnya Retained Placenta termasuk gangguan postpartum atau gangguan yang terjadi setelah persalinan. Contoh lainnya adalah infeksi paska operasi cesar yang masih tergolong gangguan antepartum, padahal seharusnya termasuk dalam gangguan postpartum.
"Klarifikasi yang salah kamar ini akan mewarnai metode penetapan tarifnya. Dan salah satu akibatnya adalah adanya overpaid (kelebihan pembayaran) atau underpaid (kekurangan) pembayaran)," terang Dr Atik.
Karena itu dalam penelitiannya, Dr Atik mengatakan harus ada pembenahan soal klasifikasi kasus penyakit. Dengan melakukan pembenahan klasifikasi, maka tidak akan ada lagi kasus yang overpaid dan underpaid, sehingga pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional dapat dilakukan dengan efisien.
"Intinya tidak ada metode tarif yang ingin merugikan salah satu pihak, baik itu dokter, rumah sakit ataupun pemerintah. Namun dengan perbaikan dan pengembangan INA-CBGs, harapan untuk masyarakat Indonesia mendapatkan standar yang sama untuk penyakit yang sama di seluruh rumah sakit dapat terpenuhi," pungkasnya.(mrs/up)
|