Jakarta - Sofosbuvir, obat hepatitis C dengan efektivitas yang tinggi sampai saat ini belum tersedia di Indonesia. Untuk mendapatkannya relawan yang tergabung dalam Koalisi Obat Murah dan Indonesia AIDS Coalition (IAC) sampai harus terbang jauh-jauh ke India.
Partnership Officer dari IAC, Irwandhy Widjaja mengatakan kebutuhan akan obat sofosbuvir di Indonesia sangat besar. Obat pegylated interferon yang saat ini digunakan untuk mengobati hepatitis C di Indonesia dinilai kurang efektif dan mempunyai efek samping yang sangat besar.
"Karena kebutuhannya besar, namun obat sofosbuvir tidak tersedia di Indonesia ya mau tidak mau kita harus ke India," tutur Irwan, dalam temu media di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (18/8/2015).
Keputusan untuk membeli obat sofosbuvir ke India diambil setelah musyawarah. Langkah persiapan yang dilakukan pun tidak sedikit. Sebabnya meski sudah umum digunakan di luar negeri, sofosbuvir yang tersedia sebagian besar dijual adalah versi paten buatan Gilead dengan merek dagang Sovaldi.
Harganya pun sangat mahal, di kisaran USD 84.000 (Rp1,1 miliar). Namun berkat informasi dari jaringan AIDS internasional, beberapa negara seperi Mesir, India dan Bangladesh memiliki versi generik yang lebih murah. Dikatakan Irwan, keputusan untuk pergi ke India diambil karena harga obat sofosbuvir versi generik di India lebih murah dari negara lain.
"Di India, Gilead sebagai perusahaan pemegang paten sofosbuvir sudah memberikan lisensi kepada perusahaan lokal untuk membuat versi generiknya. Setelah kami bandingkan dengan negara lain, India lebih murah, harganya itu Rp2,6 - 3,6 juta per botol," tuturnya lagi.
Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan berkas-berkas yang diperlukan. Dari Indonesia, ada 4 pasien hepatitis C dari lingkungan IAC yang sudah memerlukan pengobatan segera. Data seperti rekam medis dan resep dokter pun dikirimkan Irwan kepada jaringan mereka di India untuk mempermudah proses pembelian obat.
Tak butuh waktu lama, dalam beberapa hari permintaan Irwan sudah direspons oleh jaringan di India. Irwan pun berangkat dengan harapan bisa segera memperoleh sofosbuvir untuk dibawa pulang ke Indonesia.
"Begitu saya datang sudah tersedia obatnya. Nggak ada kesulitan apa-apa karena berkas termasuk resepnya kan sudah dikirim duluan," lanjutnya.
Pulang ke Indonesia pun Irwan tak menemui masalah. Dari perjalanan ke India, Irwan membawa pulang 24 botol sofosbuvir dan lebih dari 3.000 kapsul ribavirin. Seluruh obat ini diberikan kepada 4 orang rekan IAC yang sudah positif mengidap hepatitis C.
Soal apakah perbuatan yang dilakukannya melanggar hukum, Irwan mengaku tak khawatir. Ia mengibaratkan tindakannya ini dilakukan karena kebutuhan obat sofosbuvir di Indonesia yang sudah mendesak. Apa yang dilakukannya ini pun menurutnya tak berbeda dengan orang Indonesia yang berobat ke luar negeri.
"Sama saja dengan yang berobat ke luar negeri. Mereka berobat kan pulangnya bawa persediaan obat. Nanti 3 bulan balik lagi ke sana, pulangnya bawa obat lagi," pungkasnya.
Harapan Irwan, ia tak perlu lagi bolak-balik pergi ke India untuk membeli sofosbuvir. Karena itu pengurusan perizinan Sofosbuvir yang sedang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harus terbuka.
"Kami melakukan ini karena memang kebutuhannya mendesak. Kalau sofosbuvir sudah ada izin edarnya di Indonesia kan tidak perlu lagi. Karena itu pemerintah melalui BPOM dan Kementerian Kesehatan harus terbuka, sampai mana proses pengurusan izin edarnya. Jadi akan terus kami kawal," tutupnya. (mrs/up)
|