Jakarta - Pangan halal adalah kebutuhan setiap muslim. Banyak ayat dan hadis yang menegaskan keharusan konsumsi makanan-minuman halal. Perintah itu bersifat umum. Karena itu, berlaku di mana saja muslim berada. Perkembangan teknologi pangan menyebabkan kompleksitas pengetahuan tentang halalnya produk pangan. Arus pergerakan orang antardaerah, bahkan antarnegara, memerlukan kehati-hatian dalam memilih makanan. Situasi demikian menyebabkan makin banyak syubhat (ketidakjelasan status halal).
Kesadaran memenuhi hak atas pangan halal oleh produsen terus meningkat secara global. Di negeri yang tidak akrab dengan term halal pun, pangan halal kini bukan lagi barang langka. Banyak maskapai kelas dunia menyediakan menu halal. Dikenal dengan sebutan moslem meal (MoML).
Saya mendapati layanan itu dalam sejumlah maskapai, mulai Japan Airlines (JAL), American Airlines (AA), Singapore Airlines (SQ), Qantas (Australia), Chatay Pacific (Hong Kong), Saudi Airlines, Emirates, Qatar Airways, sampai Malaysia Airlines. Dalam penerbangan domestik India dan Cina pun, tersedia menu halal.
Di kantin Nolan's, Johns Hopkins University, Baltimore, Maryland, Amerika Serikat (AS), tempat saya rutin sarapan, makan siang dan sore, selama ikut program leadership, Mei-Juni lalu, juga tersedia konsumsi halal. Penanggung jawab kantin menegaskan dua hal. Pertama, seluruh masakan bebas dari babi dan produk turunannya. Kedua, dagingnya dijamin halal.
Tak jauh dari kampus, terdapat Bismillah Restaurant, restoran halal ramai pengunjung.
Fenomena halal juga terlihat menarik saat saya ke New York, acara field trip tiga hari. Di berbagai sudut kota, pusat-pusat wisata, bertebaran restoran halal yang sesak pelanggan. Tak hanya itu, di pinggir-pinggir jalan New York banyak pedagang "kaki enam" yang menjajakan makanan halal, dengan tulisan mencolok, dan laris manis.
Kejutan lagi, saat kami visiting lecture ke Bloomberg, perusahaan media, ketemu bosnya, Michael Bloomberg, penganut Yahudi, dan dilanjutkan jamuan makan siang. Awalnya enggan makan karena ragu status halal untuk menunya. Saat hendak konfirmasi kehalalan, jawaban sudah terpampang dalam tulisan di meja: halal. Pemandangan tak jauh beda juga saya temukan di Washington DC.
Medio Mei lalu, dua minggu sebelum ke AS, saya mengikuti acara di Melbourne, Australia. Lagi-lagi soal pangan halal. Tidak lebih 100 meter dari hotel tempat saya menginap, di Central City, terdapat pusat kuliner. Dan hebatnya, menu makan halal menjadi salah satu destinasi favorit di antara deretan beragam restoran.
Terkesimanya lagi, restoran itu milik orang Indonesia. ''Nelayan Restaurant" namanya. Meski milik etnis Tiongkok, menu restoran tersertifikasi halal, baik produk maupun prosesnya.
Saat saya ke Roma, Italia, akhir Maret 2014, dalam rangka Seminar Halal Internasional yang diselenggarakan Halal International Authority (HIA) Italia, sebagai rangkaian pertemuan tengah tahunan World Halal Food Council (WHFC), dukungan Pemerintah Kota Roma sangat tinggi. Pembukaan di Gedung Wali Kota Roma, diihadiri sang Wali kota.
Sebagai kota yang mengandalkan pariwisata, Roma menyadari pentingnya layanan pada konsumen. Di antaranya produk halal. Tak mengherankan, jika di lokasi strategis kota, dekat stasiun pemberhentian bus di pusat kota, berderet kuliner halal, berdampingan dengan berbagai menu masakan dunia.
Perhatian tinggi Wali Kota Roma pada isu halal karena sadar bahwa halal menjadi tuntutan nyata peningkatan kerja sama ekonomi, khususnya dengan negara muslim. Tema besar pertemuan Roma waktu itu, ''Strengthening the Development of Halal Global Industry and Market between Europe and Islamic Countries''. Banyak pengalaman kejutan sejenis terkait dengan makanan halal dalam lawatan saya ke lebih 20 negara. Dalam kunjungan ke Cina tahun lalu, saya juga menyimpan pengalaman berharga. Sesampainya di Bandara Pudong, Shanghai, saya melanjutkan penerbangan ke Langzhou, yang ditempuh 3,5 jam dengan maskapai domestik, China Eastern. Menu makanan Cina dikenal akrab dengan campuran babi. Perlu ekstra hati-hati. Saya sudah bersiap "puasa'' sepanjang hari karena berpikir akan susah ketemu menu halal. Saya hanya berbekal air putih dalam botol khusus, bawaan sengaja dari rumah. Botol adalah bagian ''peralatan wajib'' saat saya ke luar negeri untuk dua kepentingan: minum dan bersuci.
Di luar dugaan, dalam pesawat Airbus berisi kurang lebih 140 penumpang, mayoritas penduduk lokal, saya dikejutkan dengan makanan yang dibagi. Pramugari berpakaian sopan dan sapaan ramah membagi dua boks makanan. Satu berisi snack kacang polong dan roti, satu ladi ditawarkan: nasi ayam atau mi. Kejutannya, semua menu yang dibagikan pada penumpang, tertulis besar-besar ''Halal'' dan "Islamic Food" di bungkusnya.
Makanan dibagikan ke seluruh penumpang, baik muslim maupun yang bukan. Penduduk lokal pun menyantap lahap tanpa protes "Islamisasi" makanan. Hal yang sama saya alami di pesawat China Southern. Tulisan halal terpampang jelas pada menu yang dihidangkan.
Pengalaman lain terjadi di India ketika mengisi pelatihan. Meski penduduk muslim hanya 13%-an, otoritas setempat sangat memperhatikan hak-hak penduduk muslim. Termasuk soal ketersediaan produk halal. Saya seperti berada di negeri muslim. Makanan dan minuman halal mudah didapat. Pengalaman mengesankan lagi-lagi saya dapati dalam penerbangan lokal, dari kota Coimbatore menuju Atanagar, menumpang maskapai swasta, Indigo. Pikiran lagi terasa penat dan perut tengah lapar.
Saya mengandalkan bekal setia air putih. Tidak terbayangkan akan makan menu sajian pesawat. Bukan soal taste masakan yang berbeda, melainkan lebih karena masalah halal. Sesaat setelah pesawat lepas landas, saya membuka daftar menu depan tempat duduk, bercampur dengan manual keamanan penerbangan dan majalah berbahasa India. Surprise, saat membaca buku menu makan di pesawat, ada tulisan, "All meals are certified halal on all flight." Alhamdulillah.
Akankah Kita Kembali Tertinggal Urusan Halal Jaminan halal juga diberikan perusahaan-perusahaan pangan lokal India, semisal KFC. Jaminan halal terhadap konsumen muslim adalah hak yang harus diberikan, termasuk oleh perusahaan, di samping oleh negara. Selain sebagai hak konsumen yang harus dipenuhi penyedia jasa, produk halal juga memiliki nilai tambah ekonomi luar biasa. Meski 13%, konsumen muslim India lebih 120 juta orang.
Catatan ganjil justru saya temukan saat mengudara bersama Garuda Indonesia GA 894, Jakarta-Shanghai (Tiongkok), akhir 2014. Waktu jadwal makan pagi tiba, saya diberi special request MOML(moslem meal). Saya tidak tahu kenapa Garuda ikut pola SQ Airlines, Qantas, dan maskapai lain yang menyediakan menu eksklusif bertanda MOML. Artinya, di luar makanan bertanda MOML, tidak dijamin halal.
Berbeda dari Malaysia Airlines, Saudi Airlines, Qatar Airways, dan sebagainya yang seluruh sajian makanannya halal, layak dikonsumsi semua penumpang, baik muslim maupun bukan. Saya tak habis pikir, mengapa Garuda Indonesia, maskapai penerbangan dari negeri mayoritas muslim menggunakan cara pikir terbalik. Saya tetap mengapresiasi Garuda, meski logikanya harus diluruskan.
Konsumsi halal adalah hak dasar setiap muslim. Ada dimensi kesehatan dan ekonomi. Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, tanpa diminta negara wajib hadir melindungi hak dasar warganya. Pengusaha sadar akan tanggung jawab melindungi konsumen. Pembuat regulasi sadar memberi penjaminan produk halal.
Undang-Undang Jaminan Produk Halal adalah bagian dari pemenuhan hak dasar tersebut, di tengah realitas dunia yang sudah melihat halal sebagai tren global.
Sementara di negeri kita, meski sudah diundangkan, masih saja muncul upaya pemandulan UU untuk tidak segera direalisasikan. Bangsa besar adalah bangsa yang bisa menangkap peluang dan tanda zaman, serta berpikir jauh ke depan.
Halal tidak sekedar kebutuhan umat Islam, tetapi sudah menjadi tren global, telah menjadi "jalan hidup", yang bersifat universal. Singapura bahkan sudah mendeklarasikan diri sebagai hub internasional untuk halal, hanya dengan modal ''menjadi tetangga Indonesia''. Akankah kita selalu menjadi bangsa tertinggal. Saatnya kita semua sadar.
Asrorun Ni'am Sholeh Ketua Komite Syariah World Halal Food Council (WHFC) Rubrik Kolom, Edisi Khusus Lebaran Majalah GATRA, Beredar 9 Juli 2015 |